Apasih SLF itu ????

Apasih SLF Itu ?

Oleh Johan Setyo Winanto


I.        Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2018 Tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan Gedung Dan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung Melalui Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

 

1.     Pengertian

a.         Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

b.          Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah untuk menyatakan kelaikan fungsi suatu bangunan gedung baik secara administratif maupun teknis, sebelum pemanfaatannya.

c.          Tim Ahli Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat TABG adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait dengan penyelenggaraan Bangunan Gedung untuk memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian dokumen rencana teknis dengan masa penugasan terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam penyelesaian masalah penyelenggaran bangunan gedung tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan gedung tertentu tersebut.

d.          Pengkaji Teknis adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang mempunyai sertifikat kompetensi kerja kualiftikasi ahli atau sertifikat badan usaha untuk melaksanakan pengkajian teknis atas kelaikan fungsi pada gedung.

e.          Pengubahsuaian (retrofitting) adalah upaya penyesuaian kinerja bangunan gedung yang telah dimanfaatkan agar memenuhi persyaratan bangunan gedung.

f.           Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem informasi terintegrasi yang digunakan untuk penerbitan IMB, penerbitan SLF, dan sistem pendataan bangunan gedung.

g.          Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau komitmen.

 

 

II.      Maksud dan Tujuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/PRT/M/2018 Tentang Tim Ahli Bangunan Gedung, Pengkaji Teknis, Dan Penilik Bangunan

 

            Peraturan Menteri ini dimaksudkan untuk menjadi acuan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam penyelenggaraan TABG, Pengkaji Teknis, dan Penilik Bangunan.

     Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan:

a. tugas dan fungsi, Pengkaji Teknis, dan Pemilik Bangunan dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung yang fungsional, andal, serta serasi dan selaras dengan lingkungannya; dan

JDIH Kementerian PUPR

b. sinkronisasi dan koordinasi tugas Pemerintah Daerah, TABG, Pengkaji Teknis, dan Penilik Bangunan dalam mendukung tertib Penyelenggaraan Bangunan Gedung.

 

2.     Tugas dan Pelaksanaan

 

Ø Pengkaji Teknis mempunyai tugas:

a. melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung; dan/atau

b. melakukan pemeriksaan berkala Bangunan Gedung.

Pemeriksaan berkala Bangunan Gedung yang dilakukan oleh Pengkaji Teknis sebagaimana dimaksud dilakukan untuk:

a. memastikan keandalan seluruh atau sebagian Bangunan Gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana; dan/atau

b. memverifikasi catatan riwayat kegiatan operasi, pemeliharaan, dan perawatan Bangunan Gedung


3.     Metode

Ø Pemeriksaan komponen terbangun arsitektural Bangunan Gedung meliputi:

a. dinding dalam;

b. langit-langit;

c. lantai;

d. penutup atap;

e. dinding luar;

f. pintu dan jendela;

g. lisplang; dan

h. talang.

 

Ø  Pemeriksaan komponen terbangun tata ruang luar Bangunan Gedung meliputi:

a. jalan setapak;

b. jalan lingkungan;

c. tangga luar;

d. gili-gili;

e. parkir;

f. dinding penahan tanah;

g. pagar;

h. penerangan luar;

i. pertamanan; dan

j. saluran.

 

Ø  Pemeriksaan kondisi bangunan gedung meliputi:

a. pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi bangunan gedung; dan

b. pemeriksaan pemenuhan persyaratan teknis.

Pengisian daftar simak pemeriksaan kondisi bangunan gedung dilakukan oleh pengkaji teknis sesuai dengan kondisi nyata di lapangan

 

Ø  Pemeriksaan pemenuhan persyaratan teknis meliputi:

a. pemeriksaan persyaratan tata bangunan; dan

b. pemeriksaan persyaratan keandalan bangunan gedung.

Pemeriksaan persyaratan tata bangunan meliputi:

a. kesesuaian pemanfaatan bangunan gedung terhadap fungsi bangunan gedung;

b. kesesuaian intensitas bangunan gedung;

c. pemenuhan persyaratan arsitektur bangunan gedung; dan

d. pemenuhan persyaratan pengendalian dampak lingkungan.


Ø  Pemeriksaan persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi pemenuhan persyaratan:

a. keselamatan bangunan gedung;

b. kesehatan bangunan gedung;

c. kenyamanan bangunan gedung; dan

d. kemudahan bangunan gedung.

 

Ø  Kesesuaian pemanfaatan bangunan gedung terhadap fungsi bangunan gedung dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata tentang:

a. fungsi bangunan gedung;

b. pemanfaatan setiap ruang dalam bangunan gedung; dan

c. pemanfaatan ruang luar pada persil bangunan gedung.

Ø  Kesesuaian pemanfaatan bangunan gedung terhadap fungsi bangunan gedung dilakukan dengan metode:

a. pengamatan visual;

b. pemeriksaan kesesuaian kondisi faktual dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan/atau

c. pendokumentasian.


Ø  Kesesuaian intensitas bangunan gedung dilakukan untuk mengetahui kondisi nyata tentang:

a. luas lantai dasar bangunan gedung;

b. luas dasar basemen;

c. luas total lantai bangunan gedung;

d. jumlah lantai bangunan gedung;

e. jumlah lantai basemen;

f. ketinggian bangunan gedung;

g. luas daerah hijau dalam persil;

h. jarak sempadan bangunan gedung terhadap jalan, sungai, pantai, danau, rel kereta api, dan/atau jalur tegangan tinggi;

i. jarak bangunan gedung dengan batas persil; dan

j. jarak antarbangunan gedung.


Ø  Kesesuaian intensitas bangunan gedung dilakukan dengan metode:

a. pengukuran menggunakan peralatan;

b. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan/atau

c. pendokumentasian.

 

Ø  Pemenuhan persyaratan arsitektur bangunan gedung untuk mengetahui kondisi nyata tentang:

a. penampilan bangunan gedung;

b. tata ruang-dalam bangunan gedung; dan

c. keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan lingkungan bangunan gedung.

 

Ø  Pemeriksaan penampilan bangunan gedung meliputi:

a. bentuk bangunan gedung;

b. bentuk denah bangunan gedung;

c. tampak bangunan;

d. bentuk dan penutup atap bangunan gedung;

e. profil, detail, material, dan warna bangunan;

f. batas fisik atau pagar pekarangan; dan

g. kulit atau selubung bangunan.

 

Ø  Pemeriksaan penampilan bangunan gedung dilakukan dengan metode:

a. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

b. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan/atau

c. pendokumentasian.

Ø  Pemeriksaan tata ruang dalam bangunan gedung meliputi:

a. kebutuhan ruang utama;

b. bidang-bidang dinding;

c. dinding-dinding penyekat;

d. pintu/jendela;

e. tinggi ruang;

f. tinggi lantai dasar;

g. ruang rongga atap;

h. penutup lantai; dan

i. penutup langit-langit.


Ø  Pemeriksaan tata ruang dalam bangunan gedung dengan metode:

a. pengukuran menggunakan peralatan;

b. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

c. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan/atau

d. pendokumentasian.

 

Ø  Pemeriksaan pemenuhan persyaratan kesehatan Bangunan Gedung dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata tentang:

a. sistem penghawaan;

b. sistem pencahayaan;

c. sistem utilitas; dan

d. penggunaan bahan bangunan gedung.

Ø  Pemeriksaan sistem penghawaan sebagaimana dimaksud dalam meliputi:

a. ventilasi alami dan/atau mekanis;

b. sistem pengkondisian udara; dan

c. kadar karbonmonoksida dan karbondioksida.


Ø  Pemeriksaan sistem penghawaan dilakukan dengan metode:

a. pengukuran menggunakan peralatan;

b. pengamatan visual terhadap kondisi dan kerusakan;

c. pemeriksaan kesesuaian kondisi nyata dengan rencana teknis dan gambar sesuai dengan terbangun; dan

d. pendokumentasian.

Selain metode di atas pengkaji teknis dapat menambahkan metode pengetesan dan pengujian (testing and commissioning).

 

Ø  Pemeriksaan sistem pencahayaan meliputi:

a. pencahayaan alami;

b. pencahayaan buatan/artifisial; dan

c. tingkat luminansi.

 

4.     Klasifikasi Bangunan Gedung Berdasarkan Tingkat Kompleksitas

a.     Bangunan Sederhana

Klasifikasi bangunan sederhana adalah bangunan gedung dengan karakter sederhana serta memiliki kompleksitasdan teknologi sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun.Yang termasuk klasifikasi Bangunan Sederhana, antara lain:

·       gedung kantor yang sudah ada disain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan jumlah lantai s.d. 2lantai dengan luas sampai dengan 500 m2;

·       bangunan rumah dinas tipe C, D, dan E yang tidak bertingkat;

·       gedung pelayanan kesehatan: puskesmas;

·       gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai.

 

b.     Bangunan Tidak Sederhana

            Klasifikasi bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung dengan karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau teknologi tidak sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama paling singkat 10 (sepuluh) tahun.Yang termasuk klasifikasi Bangunan Tidak Sederhana, antara lain:

·       gedung kantor yang belum ada disain prototipenya, atau gedung kantor dengan luas di atas dari 500 m2, ataugedung kantor bertingkat lebih dari 2 lantai;

·       bangunan rumah dinas tipe A dan B; atau rumah dinas C, D, dan E yang bertingkat lebih dari 2 lantai, rumahnegara yang berbentuk rumah susun;

·       gedung Rumah Sakit Klas A, B, C, dan D;

·       gedung pendidikan tinggi universitas/akademik; atau gedung pendidikan dasar/lanjutan bertingkat lebih dari 2lantai.

 

c.      Bangunan Khusus

Klasifikasi bangunan khusus adalah bangunan gedung yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus,yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memerlukanpenyelesaian/teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan bangunannya paling singkat 10 (sepuluh) tahun.Yang termasuk klasifikasi Bangunan Khusus, antara lain:

·       istana negara dan rumah jabatan presiden dan wakil presiden;

·       wisma negara;

·       gedung instalasi nuklir;

·       gedung instalasi pertahanan, bangunan POLRI dengan penggunaan dan persyaratan khusus;

·       gedung laboratorium;

·       gedung terminal udara/laut/darat;

·       stasiun kereta api;

·       stadion olah raga;

·       rumah tahanan;

·       gudang benda berbahaya;

·       gedung bersifat monumental; dan

·       gedung perwakilan negara R.I. di luar negeri.

 

5.     Persyaratan Tata Bangunan dan Lingkungan

a.     Peruntukan lokasi

Setiap bangunan gedung harus diselenggara-kan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota dan/atau RTBL yang bersangkutan.

 

b.     Koefisien dasar bangunan (KDB)

Ketentuan besarnya koefisien dasar bangunan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah setempattentang bangunan gedung untuk lokasi yangbersangkutan.

 

c.      Koefisien lantai bangunan (KLB)

Ketentuan besarnya koefisien lantai bangunan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah setempattentang bangunan gedung untuk lokasi yangbersangkutan.

 

d.     Ketinggian bangunan

Ketinggian bangunan gedung, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempattentang ketinggian maksimum bangunan pada lokasi,maksimum adalah 8 lantai.Untuk bangunan gedung yang akan dibangun lebih dari 8 lantai, harus mendapat persetujuan dari:

1)     Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri/Ketua Lembaga, untuk bangunan gedung yangpembiayaannya bersumber dari APBN dan/atauAPBD;

2)     Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri Negara BUMN, untuk bangunan gedung yangpembiayaannya bersumber dari anggaran BUMN.

 

e.     Ketinggian langit-langit

Ketinggian langit-langit bangunan gedung kantor minimum adalah 2.80 meter dihitung dari permukaan lantai. Untuk bangunan gedung olah-raga, ruang pertemuan, dan bangunan lainnya dengan fungsi yang memerlukan ketinggian langit-langit khusus, agar mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dipersyaratkan.

 

f.      Jarak antar blok/massa bangunan

Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, maka jarak antarblok/massa bangunan harus mempertimbangkan hal-hal seperti:

1)     Keselamatan terhadap bahaya kebakaran;

2)     Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan;

3)     Kenyamanan;

4)     Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan.

 

g.     Koefisien daerah hijau (KDH)

Perbandingan antara luas area hijau dengan luas persil bangunan gedung, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan:

1)     daerah resapan air;

2)     ruang terbuka hijau kabupaten/kota.

Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dari 40%, harus mempunyai KDH minimum sebesar 15%.

h.     Garis sempadan bangunan

Ketentuan besarnya garis sempadan, baik garis sempadan bangunan maupun garis sempadan pagarharus mengikuti ketentuan yang diatur dalam RTBL,peraturan daerah tentang bangunan gedung, atauperaturan daerah tentang garis sempadan bangunanuntuk lokasi yang bersangkutan.

 

i.       Wujud arsitektur

Wujud arsitektur bangunan gedung harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1)     mencerminkan fungsi sebagai bangunan gedung;

2)     seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya;

3)     indah namun tidak berlebihan;

4)     efisien dalam penggunaan sumber daya baik dalam pemanfaatan maupun dalam pemeliharaannya;

5)     mempertimbangkan nilai sosial budaya setempat dalam menerapkan perkembangan arsitektur danrekayasa; dan

6)     mempertimbangkan kaidah pelestarian bangunan baik dari segi sejarah maupun langgam arsitekturnya.

 

j.      Kelengkapan Sarana dan Prasarana Bangunan

Bangunan gedung harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana bangunan yang memadai,dengan biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pekerjaan non-standar. Prasarana dan sarana bangunan yang harus ada pada bangunan gedung negara, seperti:

1)     Sarana parkir kendaraan;

2)     Sarana untuk penyandang cacat dan lansia;

3)     Sarana penyediaan air minum;

4)     Sarana drainase, limbah, dan sampah;

5)     Sarana ruang terbuka hijau;

6)     Sarana hidran kebakaran halaman;

7)     Sarana pencahayaan halaman;

8)     Sarana jalan masuk dan keluar;

9)     Penyediaan fasilitas ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi/ibu, toilet, dan fasilitas komunikasi dan informasi.

 

k.     Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta Asuransi

1)     Setiap pembangunan bangunan gedung harus memenuhi persyaratan K3 sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama MenteriTenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:Kep.174/MEN/1986 dan 104/KPTS/ 1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Satuan Kerja Konstruksi, dan atau peraturan penggantinya;

2)     Ketentuan asuransi pembangunan bangunan gedung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

6.     Persyaratan Bahan Bangunan

a.     Bahan penutup lantai

1)     Bahan penutup lantai menggunakan bahan teraso,keramik, papan kayu, vinyl, marmer, homogenius tile dan karpet yang disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya;

2)     Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahanpenutup yang digunakan.

 

b.     Bahan dinding

Bahan dinding terdiri atas bahan untuk dinding pengisi atau partisi, dengan ketentuan sebagai berikut:

1)     Bahan dinding pengisi: batu bata, beton ringan, bata tela, batako, papan kayu, kaca dengan rangkakayu/aluminium, panel GRC dan/atau aluminium;

2)     Bahan dinding partisi: papan kayu, kayu lapis, kaca, calsium board, particle board, dan/atau gypsum-boarddengan rangka kayu kelas kuat II atau rangka lainnya,yang dicat tembok atau bahan finishing lainnya, sesuai dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya;

3)     Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai jenis bahan dinding yangdigunakan;

4)     Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, rumah negara, dan bangunangedung lainnya yang telah ada komponen pracetaknya, bahan dindingnya dapat menggunakanbahan pracetak yang telah ada.

 

c.      Bahan langit-langit

Bahan langit-langit terdiri atas rangka langit-langit dan penutup langit-langit:

1)     Bahan kerangka langit-langit: digunakan bahan yang memenuhi standar teknis, untuk penutup langit-langitkayu lapis atau yang setara, digunakan rangka kayuklas kuat II dengan ukuran minimum:

·       4/6 cm untuk balok pembagi dan balok penggantung;

·       6/12 cm untuk balok rangka utama; dan

·       5/10 cm untuk balok tepi;

·       Besi hollow atau metal furring 40 mm x 40 mm dan 40 mm x 20 mm lengkap dengan besi penggantungØ 8 mm dan pengikatnya.

Untuk bahan penutup akustik atau gypsum digunakan kerangka aluminium yang bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan;

2)     Bahan penutup langit-langit: kayu lapis, aluminium, akustik, gypsum, atau sejenis yang disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunannya;

3)     Lapisan finishing yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan.

 

d.     Bahan penutup atap

1)     Bahan penutup atap bangunan gedung harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam SNI yangberlaku tentang bahan penutup atap, baik berupa atap beton, genteng, metal, fibrecement, calcium board, sirap, seng, aluminium, maupun asbes/asbes gelombang. Untuk penutup atap dari bahan beton harus diberikan lapisan kedap air (water proofing). Penggunaan bahan penutup atap disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan serta kondisi daerahnya;

2)     Bahan kerangka penutup atap: digunakan bahan yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. Untuk penutu patap genteng digunakan rangka kayu kelas kuat II dengan ukuran:

·       2/3 cm untuk reng atau 3/4 cm untuk reng genteng beton;

·       4/6 cm atau 5/7 cm untuk kaso, dengan jarak antar kaso disesuaikan ukuran penampang kaso.

3)     Bahan kerangka penutup atap non kayu:

·       Gording baja profil C, dengan ukuran minimal 125 x 50 x 20 x 3,2;

·       Kuda-kuda baja profil WF, dengan ukuran minimal 250 x150 x 8 x 7;

·       Baja ringan (light steel);

·       Beton plat tebal minimum 12 cm.

 

e.     Bahan kosen dan daun pintu/jendela

Bahan kosen dan daun pintu/jendela mengikuti ketentuan sebagai berikut:

1)     digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II dengan ukuran jadi minimum 5,5 cm x 11 cm dan dicat kayu atau dipelitur sesuai persyaratan standar yang berlaku;

2)     rangka daun pintu untuk pintu yang dilapis kayulapis/teakwood digunakan kayu kelas kuat II denganukuran minimum 3,5 cm x 10 cm, khusus untuk ambang bawah minimum 3,5 cm x 20 cm. Daun pintu dilapis dengan kayu lapis yang dicat atau dipelitur;

3)     Daun pintu panil kayu digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II, dicat kayu atau dipelitur;

4)     Daun jendela kayu, digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II, dengan ukuran rangka minimum 3,5 cm x 8 cm,dicat kayu atau dipelitur;

5)     Rangka pintu/jendela yang menggunakan bahan aluminium ukuran rangkanya disesuaikan denganfungsi ruang dan klasifikasi bangunannya;

6)     Penggunaan kaca untuk daun pintu maupun jendela disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasibangunannya;

7)     Kusen baja profil E, dengan ukuran minimal 150 x 50 x 20 x 3,2 dan pintu baja BJLS 100 diisi glas woll untuk pintukebakaran.

 

f.      Bahan struktur

Bahan struktur bangunan baik untuk struktur beton bertulang, struktur kayu maupun struktur baja harus mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Bahan Bangunan yang berlaku dan dihitung kekuatan strukturnya berdasarkan SNI yang sesuai dengan bahan/struktur konstruksi yang bersangkutan. Ketentuan penggunaan bahan bangunan untuk bangunan gedung tersebut di atas, dimungkinkan disesuaikan dengan kemajuan teknologi bahan bangunan, khususnya disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya setempat dengan tetap harus mempertimbangkan kekuatan dan keawetannya sesuai dengan peruntukan yang telah ditetapkan.Ketentuan lebih rinci agar mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI.

 

7.     Basemen

1)     Pada galian basemen harus dilakukan perhitungan terinci mengenai keamanan galian;

2)     Untuk dapat melakukan perhitungan keamanan galian, harus dilakukan test tanah yang dapat mendukungperhitungan tersebut sesuai standar teknis danpedoman teknis serta ketentuan peraturan perundangundangan;

3)     Angka keamanan untuk stabilitas galian harus memenuhi syarat sesuai standar teknis dan pedomanteknis serta ketentuan peraturan perundang-undangan.Faktor keamanan yang diperhitungkan adalah dalamaspek sistem galian, sistem penahan beban lateral, heave dan blow in;

4)     Analisis pemompaan air tanah (dewatering) harus memperhatikan keamanan lingkungan dan memperhitungkan urutan pelaksanaan pekerjaan. Analisis dewatering perlu dilakukan berdasarkan parameter parameter desain dari suatu uji pemompaan (pumping test);

5)     Bagian basemen yang ditempati oleh peralatan utilitas bangunan yang rentan terhadap air harus diberi perlindungan khusus jika bangunan gedung terletak di daerah banjir.

 

8.     Persyaratan Utilitas Bangunan

a.     Pembuangan sampah

1)     Setiap bangunan gedung harus menyediakan tempat sampah dan penampungan sampah sementara yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya,sesuai dengan ketentuan, produk sampah minimum3,0 lt/orang/hari;

2)     Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dari bahan kedap air, mempunyai tutup, dandapat dijangkau secara mudah oleh petugas pembuangan sampah dari Dinas Kebersihan setempat;

3)     Gedung dengan fungsi tertentu (seperti: rumah sakit, gedung percetakan uang negara) harusdilengkapi incenerator sampah sendiri;

4)     Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang dipersyaratkan.

 

b.     Penerangan dan pencahayaan

1)     Setiap bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami dan pencahayaan buatan yang cukup sesuai dengan fungsi ruang dalam bangunan tersebut, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan dapat terjamin;

2)     Ketentuan teknis dan besaran dari pencahayaan alami dan pencahayaan buatan mengikuti standardan pedoman teknis yang berlaku.

3)     Menurut Permen PUPR No 11 Thn 2018 untuk pencahayaan alami sesuai  SNI 03-2396-2001 yaitu mempertimbangkan:

a.    Orientasi Bangunan Gedung

b.   Lebar teritis (overstek)

b.   Alat peneduh

c.    Jenis kaca

d.   Lubang cahaya efektif (tinggi, lebar, dan jarak ke bidang lubang cahaya      efektif)

e.    Faktor langit

f.    Komponen refleksi luar

g.   Komponen refleksi dalam

h.   Dimensi ruangan

i.     Penghalang di luar faktor refleksi permukaan dalam

j.     Faktor pencahayaan siang hari

Faktor langit (fl) suatu titik pada suatu bidang di dalam suatu ruangan adalah angka perbandingan tingkat pencahayaan langsung dad langit di titik tersebut dengan tingkat pencahayaan oleh Terang Langit pada bidang datar di lapangan terbuka. Pengukuran kedua tingkat pencahayaan tersebut dilakukan dalam keadaan sebagai-berikut:

a.    Dilakukan pada saat yang sama.

b.   Keadaan langit adalah keadaan Langit Perancangan dengan distribusi  terang yang merata di mana-mana.

c.    Semua jendela atau lubang cahaya diperhitungkan seolah-olah tidak ditutup dengan kaca.

Faktor langit dalam ruangan yang menerima pencahayaan tidak langsung. Untuk lubang cahaya efektif dari suatu ruangan yang menerima cahaya siang hari tidak langsung dari langit akan tetapi melalui kaca atau lubang cahaya dari ruangan lain, misaInya lewat teras yang beratap, maka fl dari titik ukur dalarn ruangan ini dihitung melalui ketentuan-ketentuan dalam persyaratan teknis ini, hanya boleh diambil maksimal 10 % dari faktor langit dalam keadaan dimana titik ukur langsung menghadap langit.

     Setiap koridor atau gang dalam bangunan rumah tinggal harus dapat menerima cahaya melalui luas kaca sekurang-kurangnya 0,1 m2

Penetapan nilai faktor langit berdasarkan atas keadaan langit yang terangnya merata atau kriteria langit perancangan untuk Indonesia yang memberikan kekuatan pencahayaan pada titik di bidang datar di lapangan terbuka sebesar 10.000 flux.

     Sebagai langit perancangan ditetapkan langit biru tanpa awan atau langit yang seluruhnya tertutup awan abu-abu putih.

 

4)       SNI 03-6575-2001 tentang tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada Bangunan Gedung Mempertimbangkan:

1) Fungsi ruang

2) Tingkat pencahayaan rata-rata pada bidang kerja

3) Penggunaan armatur


c.      Penghawaan dan pengkondisian udara

1)     Setiap bangunan gedung harus mempunyai sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan yangcukup untuk menjamin sirkulasi udara yang segar didalam ruang dan bangunan;

2)     Dalam hal tidak dimungkinkan menggunakan system penghawaan atau ventilasi alami, dapat menggunakan sistem penghawaan buatan dan/atau pengkondisian udara dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi;

3)     Pemilihan jenis alat pengkondisian udara harus sesuai dengan fungsi bangunan, dan perletakan instalasinya tidak mengganggu wujud bangunan;

4)     Ketentuan teknis sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan serta pengkondisian udara yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknisyang berlaku.

5)     Kandungan karbonmonoksida (CO) tidak lebih dari 25 ppm, SNI 19-0232-2005 tentang nilai ambang batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja

Kandungan karbondioksida (CO2) tidak lebih dari 5000 ppm, SNI 19-0232-2005 tentang nilai ambang batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja.

6)     Konservasi energi sistem tata udara bangunan gedung SNI 6390:2011 : Kondisi udara ruang yang direncanakan harus sesuai dengan fungsi dan persyaratan penggunaan ruangan yang dimuat dalam standar.

      Untuk memenuhi kenyamanan termal pengguna bangunan, kondisi perencanaan gedung yang.berada di wilayah dataran rendah (atau pantai) dengan suhu udara maksimum rata-rata antara 34°C DB dan 28°C WB (atau suhu rata-rata bulanan sekitar 28°C) diretapkan bahwa :

a.             Ruang kerja : temperatur bola kering berkisar antara 24°C

hingga             27°C atau        25,5°C ± 1.5°C, dengan kelembaban relatif 60% ±      5%.

b.            Ruang transit (lobi, koridor): temperatur bola kering berkisar           antara 27°C     hingga 30°C atau 28.5°C ± 1.5°C, dengan           kelembaban reratif 60% ± 10%.

     Untuk dataran tinggi (atau pegunungan), dengan suhu udara maksimum rata- rata sekitar 28°C DB dan 24°C WB atau kurang (atau suhu rata-rata bulanan sekitar 23°C atau kurang), pada umumnya tidak diperlukan pengkondisian udara buatan. Pencapaian kenyamanan termal dan ketersediaan udara bersih seluruhnya dibebankan kepada optimalisasi rancangan Arsitektur secara pasif.

     Apabila, tidak ditentukan lain kondisi udara luar perencanaan ditetapkan 33°C DB dan 27°C WB, sesuai angka rata-rata temperatur maksimum tertinggi kota di lndonesia dengan tingkat kebolehjadian terbesar. Kondisi udara luar ini ditetapkan demi keseragaman perhitungan beban pendinginan; perencanaan yang lebih teliti harus menentukan kondisi udara luar setempat dengan metoda yang sudah baku.

d.     Sarana transportasi dalam bangunan gedung

1)     Setiap bangunan gedung bertingkat harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal yangaman, nyaman, berupa tangga, ramp, eskalator,dan/atau elevator (liftt);

2)     Penempatan, jumlah tangga dan ramp harus memperhatikan fungsi dan luasan bangunan gedung, konstruksinya harus kuat/kokoh, dan sudut kemiringannya tidak boleh melebihi 35°, khusus untuk ramp aksesibilitas kemiringannya tidak boleh melebihi 7°;

3)     Penggunaan eskalator dapat dipertimbangkan untuk pemenuhan kebutuhan khusus dengan memperhatikan keselamatan pengguna dan keamanan konstruksinya;

4)     Penggunaan lift harus diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah pengguna, waktu tunggu,dan jumlah lantai bangunan;

5)     Pemilihan jenis lift harus mempertimbangkan kemudahan bagi penyandang cacat, lanjut usia dan kebutuhan khusus;

6)     Salah satu ruang lift harus menggunakan selubung lift dengan dinding tahan api yang dapat digunakan sebagai lift kebakaran;

7)     Ketentuan teknis tangga, ramp, eskalator dan elevator (lift) yang lebih rinci harus mengikuti standar danpedoman teknis.

 

e.     Sarana komunikasi

1)     Pada prinsipnya, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana komunikasi intern danekstern;

2)     Penentuan jenis dan jumlah sarana komunikasi harus berdasarkan pada fungsi bangunan dan kewajaran kebutuhan;

3)     Ketentuan lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis.

 

f.      Kebisingan dan getaran

1)     Bangunan gedung harus memperhitungkan batas tingkat kebisingan dan atau getaran sesuaidengan fungsinya, dengan mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan sesuai diatur dalam standar teknis yang dipersyaratkan;

2)     Untuk bangunan gedung yang karena fungsinya mensyaratkan baku tingkat kebisingan dan/atau getaran tertentu, agar mengacu pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan yang telah dilakukan atau ditetapkan oleh ahli.

3)     Sistem tata suara pada koridor Bangunan Gedung memenuhi ukuran

kebisingan antara 60 db – 70 db sementara untuk area parkir 70 db - 80

db.


g.     Aksesibilitas dan fasilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus

1)     Bangunan gedung yang berfungsi untuk pelayanan umum harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus antara lainlansia, ibu hamil dan menyusui, seperti rambu dan

2)     marka, parkir, ram, tangga, lift, kamar mandi dan peturasan, wastafel, jalur pemandu, telepon, danruang ibu dan anak;

3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai aksesibilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khususmengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentangPedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas padaBangunan Gedung dan Lingkungan.

 

9.     Persyaratan Sarana Penyelamatan

1.     Tangga Darurat

1)     Setiap bangunan gedung yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tanggadarurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 45 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa1,5 kali);

2)     Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi fan untuk memberi tekanan positif. Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT yang menyala saat listrik/PLNmati. Lampu exit dipasok dari bateri UPS terpusat;

3)     Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m danmin 9 m;

4)     Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m;

5)     Tangga darurat/penyelamatan tidak boleh berben-tuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasarlangsung kearah luar;

6)     Ketentuan lebih lanjut tentang tangga darurat/penyelamatan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar teknis.

 

2.     Pintu darurat

1)     Setiap bangunan gedung yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah;

2)     Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka kearah luar (halaman);

3)     Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/jarak capai 25 meter dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung;

4)     Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan.

 

3.     Pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah EXIT

1)     Setiap bangunan gedung untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang menyala saat keadaan darurat;

2)     Tanda KELUAR/EXIT atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras, danpintu menuju tangga darurat;

3)     Ketentuan lebih lanjut tentang pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis.

 

4.     Koridor/selasar

1)     Lebar koridor bersih minimum 1,80 m;

2)     Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m;

3)     Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu darurat atau arahkeluar;

4)     Panjang gang buntu maximum 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler.

 

5.     Sistem Peringatan Bahaya

1)     Setiap bangunan gedung untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumahsakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama,sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan sistem komunikasi internal dan sistem peringatan bahaya;

2)     Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada ketentuan SNI yangdipersyaratkan.

 

6.     Fasilitas Penyelamatan

Setiap lantai bangunan gedung harus diberi fasilitas penyelamatan berupa meja yang cukup kuat, sarana evakuasi yang memadai sebagai fasilitas perlindungan saat terjadi bencana mengacu padaketentuan SNI yang dipersyaratkan.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

'Tips Mengatasi Anyang - Anyangan dengan Uri-Cran'

Dilematika Kemasan Laundry

Mari Bijak Bersuara LPSK Melindungi, Lawan Korupsi !!!